Wajah
Politik Di Negeriku
Politik. Apa yang ada di pikiran kita
ketika mendengar kata itu? Kekuasaan, pemerintahan, para pejabat, trik dan lain
sebagainya. Politik memang memiliki kaitan yang erat dengan hal-hal tersebut.
Para ahli memiliki pandangan tersendiri mengenai politik. Rod Hague (dalam
carapedia.com) berpendapat, politik adalah kegiatan yang menyangkut cara
bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif
dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbadaan diantara
anggota-anggotanya. Sementara itu, menurut ahli politik, Andrew Heywood (dalam
carapedia.com), politik adalah
kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk
membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang
mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik
dan kerja sama.
Dari dua definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu
bangsa/negara untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegaranya demi tujuan
menyejahterakan anggota masyarakatnya. Namun jika ditilik lebih dalam,
kehidupan perpolitikan di Indonesia hari ini apakah masih relevan dengan tujuan
menyejahterakan rakyatnya? Keinginan untuk berkuasa dan menyejahterakan
kelompok pribadi dan segelintir pihak lebih kentara dibanding mengupayakan
kemakmuran rakyat. Hal ini terlihat jelas ketika pemilu diadakan, praktek money
politics seolah menjadi hal yang wajar dan lumrah. Tak hanya dalam pertempuran
elit-elit politik di tingkat atas seperti nasional atau provinsi, tetapi di
tingkat pemilihan kepala desa pun praktik ini begitu membabi buta, mengerikan
sekali. Hal seperti ini tentu sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat.
Untuk menjadi seorang kepala desa seseorang harus merogoh kocek ratusan juta.
Beberapa orang dari desa sekitar yang berhasil menjadi kepala desa bahkan
menghabiskan 500-800 juta, untuk praktik ini. Setelah pemilihan usai, tak
jarang saudara dan kawan menjadi lawan atau sebaliknya, lawan menjadi kawan.
Di tingkat nasional, peta koalisi
seperti itupun terjadi, bahkan lebih ekstrim, tergantung pada kepentingan
partai politiknya. Politik yang dikatakan bisa mendamaikan perbedaan yang ada
diantara anggota-anggotanya, nampaknya beberapa waktu ini berbanding terbalik.
Hal ini tampak saat perhelatan pemilihan presiden dan wakil presiden beberapa
waktu lalu. Hanya adanya dua calon presiden yang sama-sama memiliki basis
pendukung fanatik hampir membuat bangsa ini terbelah dua. Memanasnya situasi
politik ini dipicu adanya fenomena black campaign yang dilancarkan oleh
masing-masing kubu. Ini bukan rahasia lagi bahwa kedua kubu memang sama-sama
melancarkan trik kotor ini demi menangnya sang calon. Karena dengan begitu
kesempatan para tim sukses untuk berkuasa akan semakin besar.
Tak sampai disitu keadaan semakin
memanas tatkala salah satu pasangan capres dan cawapres dinyatakan sebagai
pemenang. Para pendukung pihak seberang merasa tak terima dan gengsi karena
terlanjur berkoar akan menang yang akhirnya membawa mereka dalam satu koalisi
oposisi yang jumlahnya melebihi koalisi pro pemerintahan.
Sikap kekanakan kembali ditampilkan para
elit politik ini kala sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada dimana kepala
daerah akan kembali dipilih oleh DPRD. Koalisi oposisi bersikeras ingin
mengesahkan RUU ini dengan alasan penghematan APBN, sementara koalisi pro
pemerintahan baru menolak RUU ini dengan alasan tidak ingin membunuh hak
demokrasi rakyat yang sudah susah payah didapatkan. Partai Demokrat sebagai
partai penguasa kala itu, awalnya menolak RUU ini, tetapi saat voting akan
mulai dilakukan mereka malah walk out dan mengakibatkan disahkannya RUU ini.
Banyak kalangan menilai UU ini dibuat untuk kepentingan politik kalangan
tertentu bukan murni untuk rakyat.
Lebih lucu lagi saat pemilihan ketua DPR
RI yang baru. Koalisi partai oposisi yang memang menang jumlah anggota begitu
kentara menginginkan pemilihan melalui voting. Sementara sebagian partai pro
pemerintah melakukan walk out dengan alasan suaranya tak dihormati. Jika setiap
pengambilan keputusan selalu seperti ini, lalu bagaimana nasib bangsa ini
selanjutnya? Siapa lagi yang akan membela kepentingan rakyat jika para elit
politik yang mengaku sebagai wakil rakyat itu begitu sibuk dengan rebutan
kekuasaan?
Inilah yang membuat masyarakat antipati pada dunia
perpolitikan. Hal-hal seperti ini yang membuat generasi muda kita begitu muak
dengan dunia politik.
Itulah wajah perpolitikan Indonesia hari ini.
Mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi segelintir kelompok yang haus
akan kekuasaan. Jadi jangan salahkan para generasi mendatang yang bersikap
antipati terhadap bangsa dan negaranya sendiri karena mereka tak percaya pada
dunia politik di negaranya.
Tapi, sebagai pemuda generasi penerus bangsa tidak
seharusnya kita bersikap antipati terhadap dunia politik negara ini. Tugas kita
adalah mengawal mereka yang menjalankan pemerintahan. Dunia politik Indonesia
sudah banyak dihuni oleh orang-orang 'tidak baik', jika orang baik bersikap
antipati maka selamanya orang 'tidak baik' itulah yang akan menguasai negara
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar