Minggu, 03 Januari 2016

Wajah Politik Di Negeriku

Politik. Apa yang ada di pikiran kita ketika mendengar kata itu? Kekuasaan, pemerintahan, para pejabat, trik dan lain sebagainya. Politik memang memiliki kaitan yang erat dengan hal-hal tersebut. Para ahli memiliki pandangan tersendiri mengenai politik. Rod Hague (dalam carapedia.com) berpendapat, politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbadaan diantara anggota-anggotanya. Sementara itu, menurut ahli politik, Andrew Heywood (dalam carapedia.com), politik adalah
kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu bangsa/negara untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegaranya demi tujuan menyejahterakan anggota masyarakatnya. Namun jika ditilik lebih dalam, kehidupan perpolitikan di Indonesia hari ini apakah masih relevan dengan tujuan menyejahterakan rakyatnya? Keinginan untuk berkuasa dan menyejahterakan kelompok pribadi dan segelintir pihak lebih kentara dibanding mengupayakan kemakmuran rakyat. Hal ini terlihat jelas ketika pemilu diadakan, praktek money politics seolah menjadi hal yang wajar dan lumrah. Tak hanya dalam pertempuran elit-elit politik di tingkat atas seperti nasional atau provinsi, tetapi di tingkat pemilihan kepala desa pun praktik ini begitu membabi buta, mengerikan sekali. Hal seperti ini tentu sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat. Untuk menjadi seorang kepala desa seseorang harus merogoh kocek ratusan juta. Beberapa orang dari desa sekitar yang berhasil menjadi kepala desa bahkan menghabiskan 500-800 juta, untuk praktik ini. Setelah pemilihan usai, tak jarang saudara dan kawan menjadi lawan atau sebaliknya, lawan menjadi kawan.
Di tingkat nasional, peta koalisi seperti itupun terjadi, bahkan lebih ekstrim, tergantung pada kepentingan partai politiknya. Politik yang dikatakan bisa mendamaikan perbedaan yang ada diantara anggota-anggotanya, nampaknya beberapa waktu ini berbanding terbalik. Hal ini tampak saat perhelatan pemilihan presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu. Hanya adanya dua calon presiden yang sama-sama memiliki basis pendukung fanatik hampir membuat bangsa ini terbelah dua. Memanasnya situasi politik ini dipicu adanya fenomena black campaign yang dilancarkan oleh masing-masing kubu. Ini bukan rahasia lagi bahwa kedua kubu memang sama-sama melancarkan trik kotor ini demi menangnya sang calon. Karena dengan begitu kesempatan para tim sukses untuk berkuasa akan semakin besar.
Tak sampai disitu keadaan semakin memanas tatkala salah satu pasangan capres dan cawapres dinyatakan sebagai pemenang. Para pendukung pihak seberang merasa tak terima dan gengsi karena terlanjur berkoar akan menang yang akhirnya membawa mereka dalam satu koalisi oposisi yang jumlahnya melebihi koalisi pro pemerintahan.
Sikap kekanakan kembali ditampilkan para elit politik ini kala sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada dimana kepala daerah akan kembali dipilih oleh DPRD. Koalisi oposisi bersikeras ingin mengesahkan RUU ini dengan alasan penghematan APBN, sementara koalisi pro pemerintahan baru menolak RUU ini dengan alasan tidak ingin membunuh hak demokrasi rakyat yang sudah susah payah didapatkan. Partai Demokrat sebagai partai penguasa kala itu, awalnya menolak RUU ini, tetapi saat voting akan mulai dilakukan mereka malah walk out dan mengakibatkan disahkannya RUU ini. Banyak kalangan menilai UU ini dibuat untuk kepentingan politik kalangan tertentu bukan murni untuk rakyat.
Lebih lucu lagi saat pemilihan ketua DPR RI yang baru. Koalisi partai oposisi yang memang menang jumlah anggota begitu kentara menginginkan pemilihan melalui voting. Sementara sebagian partai pro pemerintah melakukan walk out dengan alasan suaranya tak dihormati. Jika setiap pengambilan keputusan selalu seperti ini, lalu bagaimana nasib bangsa ini selanjutnya? Siapa lagi yang akan membela kepentingan rakyat jika para elit politik yang mengaku sebagai wakil rakyat itu begitu sibuk dengan rebutan kekuasaan?
Inilah yang membuat masyarakat antipati pada dunia perpolitikan. Hal-hal seperti ini yang membuat generasi muda kita begitu muak dengan dunia politik.
Itulah wajah perpolitikan Indonesia hari ini. Mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi segelintir kelompok yang haus akan kekuasaan. Jadi jangan salahkan para generasi mendatang yang bersikap antipati terhadap bangsa dan negaranya sendiri karena mereka tak percaya pada dunia politik di negaranya.

Tapi, sebagai pemuda generasi penerus bangsa tidak seharusnya kita bersikap antipati terhadap dunia politik negara ini. Tugas kita adalah mengawal mereka yang menjalankan pemerintahan. Dunia politik Indonesia sudah banyak dihuni oleh orang-orang 'tidak baik', jika orang baik bersikap antipati maka selamanya orang 'tidak baik' itulah yang akan menguasai negara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar